Sabtu, 28 Mei 2011

Kultur Budaya dan tradisi "Mensukseskan" lah yang salah.!

Edukasi

Beranda
SERBA SERBI
ENGLISH CORNER

Sabtu, 28 Mei 2011

Dari hari ke hari, minggu ke minggu dan tahun ke tahun ujian nasional selalu menjadi masalah dan menimbulkan masalah. Tapi ada baiknya juga kita menelaah dan flashback beberapa langkah ke belakang dimana tujuan diadakan ujian nasional adalah untuk mengetahui kemajuan pendidikan secara nasional. Kalau dipikir lagi, dari tujuan itupun masalah juga telah muncul; Sebagi negara negara maritim, rasanya tidak bijak menyama ratakan semua daerah dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai pulau Rotte. Karena ternyata tingkat kemampuan siswa dari suatu daerah dengan daerah lainnya juga berbeda beda.

Menanggapi paradigma tersebut, bukan penulis memberikan pembenaran dan pembelaan terhadap Pemerintah yang dalam hal ini adalah Kemendiknas, tapi memang ada benarnya juga bahwa standar kelulusan yang telah dibuat oleh Kemendiknas juga telah memperhatikan aspek aspek kultur, historis dan geografis seluruh daerah di Indonesia karena standar yang ditetapkan hanya berkisar 4,25 sampai 5. Artinya pemerintah hanya ingin melihat dan mengukur kantong kantong dan daerah daerah yang belum optimal dalam meyelenggarakan pendidikan, sehingga pemerintah bisa membantu provinsi ataupun kabupaten/kota yang menyelenggarakan pendidikan dibawah standar nasional. Bukan kurikulum yang telah disusun dan digodok oleh PUSKUR Kemendiknas yang salah dan bukan juga rasa apatis masyarakat terhadap ujian nasional yang juga harus disalahkan. Bahwa, ujian nasional jangan dijadikan patokan untuk kelulusan, ya benar. Bahwa pemerintah telah berusaha maksimal untuk menghindari kecurangan pada ujian nasional, juga harus di acungkan jempol. Tapi, ada sisi lain yang ternyata salah adalah kultur dan budaya kita yang selalu ingin dibilang sukses dan berhasil dalam menyelenggarakan pendidikan walaupun untuk mencapainya kita tidak menempuh cara cara yang elegan kalau tidak mau di bilang pecundang.

Nama Provinsi, nama Kabupaten/Kota, nama dinas dan Kepala Dinas, nama sekolah dan kepala sekolah bahkan nama guru ternyata menjadi sangat tendensius untuk memberikan arti sukses dan berhasil pada ujian nasional. Dilihat dari sisi kemanusiaan memang sangat manusiawi. Dimana ada pepatah bahwa gajah mati meninggalkan gading, dan manusia meninggal akan meninggalkan nama. Siapa yang tidak ingin dibilang, dipuji dan disanjung namanya karena telah berhasil dan sukses, tapi dilihat cara cara yang ditempuh...tunggu dulu Bung!

Telah demi telaah dan usut demi usut ternyata ada dampak yang tersistematis dari target "berhasil dan sukses" pada pelaksaan ujian nasional. Mulai dari Provinsi yang tidak mau dibilang ketinggalan dengan provinsi lain, jika pada tahun 2010 salah satu provinsi berada pada urutan 12 maka pada tahun 2011 tentu mempunyai target untuk menaikkan peringkat, bagaimanapun caranya. sampai pada satu sekolah dengan sekolah lainnya. Aroma persaingan pun makin tercium tidak sedap, segala cara ditempuh dan dilakukan demi peringkat dan kata "berhasil dan sukses". Padahal kalau dilihat cara mendapatkannya, kita akan sangat sedih sekali. Kepala Sekolah meng ultimatum para gurunya agar " mensukseskan" ujian nasional. Para guru pun demikian tanpa ingat tujuan mulianya sebagai guru, mereka berlomba lomba untuk membantu para siswanya. Dan yang paling parah lagi dari dampak tersistematis tersebut adalah pada adik adik tingkatnya pada suatu sekolah. Akan sangat sulit untuk mengubah tradisi, kultur dan budaya membantu" mensukseskan" ujian nasional karena ternyata mereka akan menuntut dan berharap bantuan karena senior mereka juga dibantu, gurupun tidak bisa mengelak dan memberikan alasan apapun karena ternyata budaya membantu"mensukseskan" ujian nasional dari tahun ke tahun sulit untuk dihilangkan.

Jadi kalau mau lebih bijak, marilah untuk saling instropeksi. Bukan kemendiknas yang salah, bukan Kepala Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota yang salah, bukan Kepala Sekolah yang salah, bukan guru yang salah dan juga bukan siswa yang harus disalahkan. Yang salah adalah kultur budaya dan tradisi memaksakan dan dipaksakan untuk menjadi terkenal, sukses dan berhasil, sementara cara meraihnya dengan cara cara yang tidak fair dan tidak elegan. Apakah akan seperti ini cermin dan wajah pendidikan kita? Menyedihkan! Dan untuk merubah budaya dan tradisi butuh waktu yang sangat lama kalau tidak mau dibilang sangat sulit. Inilah realitas pendidikan kita yang memang sangat ketinggalan jauh dari negara negara lain.

Sebagai tenaga pendidik dan sekaligus masyarakat Indonesia penulis sangat prihatin berada pada realita ini. Kalau hanya berfikir pragmatis maka sebenarnya hapuskan saja ujian nasional karena pelaksanaannya sangat tidak optimal dan selalu menimbulkan kontroversi. Tetapi sekali lagi, untuk mengetahui kemajuan pendidikan maka diperlukan data dan fakta. Dan salah satunya adalah dengan tetap mengadakan ujian nasional. Dari data dan fakta itulah pemerintah dapat membuat skala prioritas untuk membangun negara ini dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana cita cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 (Alenia ke-4).

Dari hari ke hari, minggu ke minggu dan tahun ke tahun ujian nasional selalu menjadi masalah dan menimbulkan masalah. Tapi ada baiknya juga kita menelaah dan flashback beberapa langkah ke belakang dimana tujuan diadakan ujian nasional adalah untuk mengetahui kemajuan pendidikan secara nasional. Kalau dipikir lagi, dari tujuan itupun masalah juga telah muncul; Sebagi negara negara maritim, rasanya tidak bijak menyama ratakan semua daerah dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai pulau Rotte. Karena ternyata tingkat kemampuan siswa dari suatu daerah dengan daerah lainnya juga berbeda beda.

Menanggapi paradigma tersebut, bukan penulis memberikan pembenaran dan pembelaan terhadap Pemerintah yang dalam hal ini adalah Kemendiknas, tapi memang ada benarnya juga bahwa standar kelulusan yang telah dibuat oleh Kemendiknas juga telah memperhatikan aspek aspek kultur, historis dan geografis seluruh daerah di Indonesia karena standar yang ditetapkan hanya berkisar 4,25 sampai 5. Artinya pemerintah hanya ingin melihat dan mengukur kantong kantong dan daerah daerah yang belum optimal dalam meyelenggarakan pendidikan, sehingga pemerintah bisa membantu provinsi ataupun kabupaten/kota yang menyelenggarakan pendidikan dibawah standar nasional. Bukan kurikulum yang telah disusun dan digodok oleh PUSKUR Kemendiknas yang salah dan bukan juga rasa apatis masyarakat terhadap ujian nasional yang juga harus disalahkan. Bahwa, ujian nasional jangan dijadikan patokan untuk kelulusan, ya benar. Bahwa pemerintah telah berusaha maksimal untuk menghindari kecurangan pada ujian nasional, juga harus di acungkan jempol. Tapi, ada sisi lain yang ternyata salah adalah kultur dan budaya kita yang selalu ingin dibilang sukses dan berhasil dalam menyelenggarakan pendidikan walaupun untuk mencapainya kita tidak menempuh cara cara yang elegan kalau tidak mau di bilang pecundang.

Nama Provinsi, nama Kabupaten/Kota, nama dinas dan Kepala Dinas, nama sekolah dan kepala sekolah bahkan nama guru ternyata menjadi sangat tendensius untuk memberikan arti sukses dan berhasil pada ujian nasional. Dilihat dari sisi kemanusiaan memang sangat manusiawi. Dimana ada pepatah bahwa gajah mati meninggalkan gading, dan manusia meninggal akan meninggalkan nama. Siapa yang tidak ingin dibilang, dipuji dan disanjung namanya karena telah berhasil dan sukses, tapi dilihat cara cara yang ditempuh...tunggu dulu Bung!

Telah demi telaah dan usut demi usut ternyata ada dampak yang tersistematis dari target "berhasil dan sukses" pada pelaksaan ujian nasional. Mulai dari Provinsi yang tidak mau dibilang ketinggalan dengan provinsi lain, jika pada tahun 2010 salah satu provinsi berada pada urutan 12 maka pada tahun 2011 tentu mempunyai target untuk menaikkan peringkat, bagaimanapun caranya. sampai pada satu sekolah dengan sekolah lainnya. Aroma persaingan pun makin tercium tidak sedap, segala cara ditempuh dan dilakukan demi peringkat dan kata "berhasil dan sukses". Padahal kalau dilihat cara mendapatkannya, kita akan sangat sedih sekali. Kepala Sekolah meng ultimatum para gurunya agar " mensukseskan" ujian nasional. Para guru pun demikian tanpa ingat tujuan mulianya sebagai guru, mereka berlomba lomba untuk membantu para siswanya. Dan yang paling parah lagi dari dampak tersistematis tersebut adalah pada adik adik tingkatnya pada suatu sekolah. Akan sangat sulit untuk mengubah tradisi, kultur dan budaya membantu" mensukseskan" ujian nasional karena ternyata mereka akan menuntut dan berharap bantuan karena senior mereka juga dibantu, gurupun tidak bisa mengelak dan memberikan alasan apapun karena ternyata budaya membantu"mensukseskan" ujian nasional dari tahun ke tahun sulit untuk dihilangkan.

Jadi kalau mau lebih bijak, marilah untuk saling instropeksi. Bukan kemendiknas yang salah, bukan Kepala Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota yang salah, bukan Kepala Sekolah yang salah, bukan guru yang salah dan juga bukan siswa yang harus disalahkan. Yang salah adalah kultur budaya dan tradisi memaksakan dan dipaksakan untuk menjadi terkenal, sukses dan berhasil, sementara cara meraihnya dengan cara cara yang tidak fair dan tidak elegan. Apakah akan seperti ini cermin dan wajah pendidikan kita? Menyedihkan! Dan untuk merubah budaya dan tradisi butuh waktu yang sangat lama kalau tidak mau dibilang sangat sulit. Inilah realitas pendidikan kita yang memang sangat ketinggalan jauh dari negara negara lain.

Sebagai tenaga pendidik dan sekaligus masyarakat Indonesia penulis sangat prihatin berada pada realita ini. Kalau hanya berfikir pragmatis maka sebenarnya hapuskan saja ujian nasional karena pelaksanaannya sangat tidak optimal dan selalu menimbulkan kontroversi. Tetapi sekali lagi, untuk mengetahui kemajuan pendidikan maka diperlukan data dan fakta. Dan salah satunya adalah dengan tetap mengadakan ujian nasional. Dari data dan fakta itulah pemerintah dapat membuat skala prioritas untuk membangun negara ini dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana cita cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 (Alenia ke-4).